Kamis dini hari adikku Paramitha memberi kabar bahwa Ibu telah berpulang ke haribaan Allah SWT sekitar jam 01:45. Sedih mendengar berita ini mengingat terakhir bertatap muka adalah pada saat ulang tahun Ibu yang ke 81 di bulan April 2012 yang lalu. Sedikit timbul rasa sesal dengan kondisi kaki yang belum pulih seratus persen sehingga menyebabkan saya tidak bisa menengok Ibu yang telah tergolek lemah 1 bulan terakhir di rumah sakit namun pada akhirnya saya hanya bisa berserah diri atas keputusan yang diambil oleh Yang Maha Kuasa.
Ibu adalah sosok pejuang yang benar-benar saya kagumi. Masih jelas dalam ingatan betapa disaat muda Ibu harus berjuang keras membantu bapak untuk menghidupi keluarga. Kedengarannya memang cukup aneh mengingat Bapak adalah seorang perwira polisi yang seharusnya bisa mencukupi seluruh kebutuhan keluarga, namun karena Bapak adalah seorang polisi yang jujur dan tidak pernah tergoda dengan iming-iming uang atau apapun maka kami sembilan bersaudara harus rela hidup dengan pas-pasan.
Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga segala upaya dilakukan oleh Ibu, dari berjualan es batu, es mambo, memasak untuk siswa polisi(note: saat ini bernama SPN) sampai berjualan serabi dan menjadi makelar rumah. Ibu juga tidak pernah pantang menyerah untuk memperjuangkan kehidupannya, entah sudah berapa lama Ibu menderita penyakit ginjal, kencing manis, paru-paru dan jantung sehingga Ibu harus bergantung dengan obat-obatan namun Ibu tetap bersemangat meniti kehidupan ini seolah-olah tidak ada satupun penyakit yang dideritanya.
Menjelang lebaran tahun 2011 yang lalu ketika karyawan saya pulang kampung, saya dan istri memutuskan untuk tetap membuka toko bersama anak-anak selama 2 hari. Dihari pertama ketika kami semua pamitan untuk berangkat ke toko, tiba-tiba Ibu mengejutkan kami semua dengan keputusannya yang ingin ikut menjaga toko “Semua berjuang, masa Ibu gak ikut berjuang” demikian kata Ibu yang sampai dengan saat ini selalu terngiang dalam ingatan. Walau kami telah berusaha keras mencegahnya namun Ibu bersikukuh untuk tetap berangkat. Kamipun menyerah hanya menyarankan untuk datang siangan agar Ibu tidak tergesa-gesa mempersiapkan segala sesuatunya. Pada akhirnya Ibu datang juga ke toko dengan menaiki kursi roda yang didorong oleh susternya(note: jarak dari rumah ke toko sekitar 300 meter). Sesampainya di toko Ibupun langsung menyemangati kami semua, rasa letih yang sebelumnya kami rasakan menjadi sirna berganti dengan semangat kerja yang membara. Ibu memang benar-benar seorang pejuang sejati, bukan hanya dengan omongan semata melainkan ikut terjun langsung memberikan contoh nyata. Semoga semangat Ibu yang luar biasa ini bisa menjadi suri tauladan bagi keluarga saya.
Selain sebagai pejuang keluarga, Ibu adalah tokoh pemersatu keluarga. Tak jarang Ibu mengundang kami bersaudara untuk berkumpul dirumahnya. Ada saja alasan yang digunakan, entah itu arisan keluarga, acara ulang tahun, lebaran atau dalam rangka merayakan tahun baru. Hebatnya lagi Ibu yang paling bersemangat untuk mengabadikan momen pertemuan tersebut. Ibu selalu tampil sebagai komandan yang mengatur anak-anaknya untuk melakukan photo bersama. Saya tidak tahu apakah sepeninggal Ibu semangat persatuan diantara kami masih akan terus tumbuh seperi masa-masa yang lalu? Semoga perjuangan dari Ibu untuk tetap mempersatukan kami masih bisa berlanjut sehingga apa yang telah diperjuangkan oleh Ibu tersebut tidak menjadi sesuatu yang sia-sia belaka.
Begitu banyak kisah yang bisa diceritakan tentang Ibu, apalagi terhitung dari bulan Februari 2011 s/d September 2011 Ibu tinggal di rumah saya. Ulang tahun Ibu yang ke 80 saya rayakan dengan sederhana di sebuah rumah makan daerah Kampung Utan, sayang pada saat itu tidak ada saudara yang hadir selain saya sekeluarga, seluruh karyawan saya serta Rio Saputro anak dari kakak saya yang ketiga. Walau dengan perayaan yang sangat sederhana, Ibu nampak bahagia sekali dan entah sudah beberapa kali mengucapkan rasa terimakasihnya yang tak terhingga kepada saya. Ibu memang tiak pernah membeda-bedakan anaknya, berapapun yang kami berikan semua pasti disyukuri sama rata. Kasih sayang dari Ibu sebenarnya sama pada setiap anaknya, hanya saja karena termakan oleh usia terkadang Ibu bisa salah ucap sehingga akhirnya diartikan berbeda oleh kami selaku anaknya. Yang saya tahu Ibu senantiasa mendoakan semua anaknya tanpa perbedaan dan saya berharap apa yang telah Ibu ajarkan mengenai kasih sayang terhadap keluarga bisa juga saya lakukan sama baiknya dengan Ibu.
Setelah Ibu tiada saya selalu merindukan sapaan dari Ibu yang benar-benar melekat dihati “Gimana Son juara apa gak..?”, saat menanyakan hasil lomba mancing yang saya ikuti dan ketika saya jawab “Belum berhasil bu…“ maka Ibupun tertawa sembari berkata “Sabar… belum rejeki, nanti pasti juara…!!!”. Dalam kesempatan lain ketika saya menjawab pertanyaan Ibu “Juara bu…” Ibupun tertawa terbahak-bahak dan berkata “Hebat… dapat juara berapa, hadiahnya berapa…?”. Bahkan ketika Ibu sudah tinggal di Surabaya, tak lupa dalam pembicaraan via telpon Ibu juga menanyakan hasil lomba mancing yang saya ikuti dan selalu menyemangati ketika saya ceritakan mengenai hasil yang kurang menggembirakan. Bagi saya Ibu adalah seorang motivator yang tiada duanya, sangat jarang melihat Ibu patah arang karena Ibu selalu menatap kehidupan ini dengan optimisme yang tinggi.
Kini tiada lagi perkataan “Bu Astrid, uang eyang sudah dikirim atau belum..?”, “Bu Astrid, Eyang kehabisan uang tolong dikirimin dulu…!!!”, “Nil, Ibu beliin abon ya, di Surabaya gak ada abon yang enak…” dan masih banyak lagi perkataan lainnya yang sering diulang dalam kesempatan berbeda sehingga membuat saya sekeluarga menjadi terhibur karenanya.
Selamat jalan Ibu, beristirahatlah dengan tenang dan terimakasih telah memberikan kenangan yang begitu indah pada kami semua. Doa kami sekeluarga akan senantiasa menyertai Ibunda tercinta.
Ibu adalah sosok pejuang yang benar-benar saya kagumi. Masih jelas dalam ingatan betapa disaat muda Ibu harus berjuang keras membantu bapak untuk menghidupi keluarga. Kedengarannya memang cukup aneh mengingat Bapak adalah seorang perwira polisi yang seharusnya bisa mencukupi seluruh kebutuhan keluarga, namun karena Bapak adalah seorang polisi yang jujur dan tidak pernah tergoda dengan iming-iming uang atau apapun maka kami sembilan bersaudara harus rela hidup dengan pas-pasan.
Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga segala upaya dilakukan oleh Ibu, dari berjualan es batu, es mambo, memasak untuk siswa polisi(note: saat ini bernama SPN) sampai berjualan serabi dan menjadi makelar rumah. Ibu juga tidak pernah pantang menyerah untuk memperjuangkan kehidupannya, entah sudah berapa lama Ibu menderita penyakit ginjal, kencing manis, paru-paru dan jantung sehingga Ibu harus bergantung dengan obat-obatan namun Ibu tetap bersemangat meniti kehidupan ini seolah-olah tidak ada satupun penyakit yang dideritanya.
Menjelang lebaran tahun 2011 yang lalu ketika karyawan saya pulang kampung, saya dan istri memutuskan untuk tetap membuka toko bersama anak-anak selama 2 hari. Dihari pertama ketika kami semua pamitan untuk berangkat ke toko, tiba-tiba Ibu mengejutkan kami semua dengan keputusannya yang ingin ikut menjaga toko “Semua berjuang, masa Ibu gak ikut berjuang” demikian kata Ibu yang sampai dengan saat ini selalu terngiang dalam ingatan. Walau kami telah berusaha keras mencegahnya namun Ibu bersikukuh untuk tetap berangkat. Kamipun menyerah hanya menyarankan untuk datang siangan agar Ibu tidak tergesa-gesa mempersiapkan segala sesuatunya. Pada akhirnya Ibu datang juga ke toko dengan menaiki kursi roda yang didorong oleh susternya(note: jarak dari rumah ke toko sekitar 300 meter). Sesampainya di toko Ibupun langsung menyemangati kami semua, rasa letih yang sebelumnya kami rasakan menjadi sirna berganti dengan semangat kerja yang membara. Ibu memang benar-benar seorang pejuang sejati, bukan hanya dengan omongan semata melainkan ikut terjun langsung memberikan contoh nyata. Semoga semangat Ibu yang luar biasa ini bisa menjadi suri tauladan bagi keluarga saya.
Selain sebagai pejuang keluarga, Ibu adalah tokoh pemersatu keluarga. Tak jarang Ibu mengundang kami bersaudara untuk berkumpul dirumahnya. Ada saja alasan yang digunakan, entah itu arisan keluarga, acara ulang tahun, lebaran atau dalam rangka merayakan tahun baru. Hebatnya lagi Ibu yang paling bersemangat untuk mengabadikan momen pertemuan tersebut. Ibu selalu tampil sebagai komandan yang mengatur anak-anaknya untuk melakukan photo bersama. Saya tidak tahu apakah sepeninggal Ibu semangat persatuan diantara kami masih akan terus tumbuh seperi masa-masa yang lalu? Semoga perjuangan dari Ibu untuk tetap mempersatukan kami masih bisa berlanjut sehingga apa yang telah diperjuangkan oleh Ibu tersebut tidak menjadi sesuatu yang sia-sia belaka.
Begitu banyak kisah yang bisa diceritakan tentang Ibu, apalagi terhitung dari bulan Februari 2011 s/d September 2011 Ibu tinggal di rumah saya. Ulang tahun Ibu yang ke 80 saya rayakan dengan sederhana di sebuah rumah makan daerah Kampung Utan, sayang pada saat itu tidak ada saudara yang hadir selain saya sekeluarga, seluruh karyawan saya serta Rio Saputro anak dari kakak saya yang ketiga. Walau dengan perayaan yang sangat sederhana, Ibu nampak bahagia sekali dan entah sudah beberapa kali mengucapkan rasa terimakasihnya yang tak terhingga kepada saya. Ibu memang tiak pernah membeda-bedakan anaknya, berapapun yang kami berikan semua pasti disyukuri sama rata. Kasih sayang dari Ibu sebenarnya sama pada setiap anaknya, hanya saja karena termakan oleh usia terkadang Ibu bisa salah ucap sehingga akhirnya diartikan berbeda oleh kami selaku anaknya. Yang saya tahu Ibu senantiasa mendoakan semua anaknya tanpa perbedaan dan saya berharap apa yang telah Ibu ajarkan mengenai kasih sayang terhadap keluarga bisa juga saya lakukan sama baiknya dengan Ibu.
Setelah Ibu tiada saya selalu merindukan sapaan dari Ibu yang benar-benar melekat dihati “Gimana Son juara apa gak..?”, saat menanyakan hasil lomba mancing yang saya ikuti dan ketika saya jawab “Belum berhasil bu…“ maka Ibupun tertawa sembari berkata “Sabar… belum rejeki, nanti pasti juara…!!!”. Dalam kesempatan lain ketika saya menjawab pertanyaan Ibu “Juara bu…” Ibupun tertawa terbahak-bahak dan berkata “Hebat… dapat juara berapa, hadiahnya berapa…?”. Bahkan ketika Ibu sudah tinggal di Surabaya, tak lupa dalam pembicaraan via telpon Ibu juga menanyakan hasil lomba mancing yang saya ikuti dan selalu menyemangati ketika saya ceritakan mengenai hasil yang kurang menggembirakan. Bagi saya Ibu adalah seorang motivator yang tiada duanya, sangat jarang melihat Ibu patah arang karena Ibu selalu menatap kehidupan ini dengan optimisme yang tinggi.
Kini tiada lagi perkataan “Bu Astrid, uang eyang sudah dikirim atau belum..?”, “Bu Astrid, Eyang kehabisan uang tolong dikirimin dulu…!!!”, “Nil, Ibu beliin abon ya, di Surabaya gak ada abon yang enak…” dan masih banyak lagi perkataan lainnya yang sering diulang dalam kesempatan berbeda sehingga membuat saya sekeluarga menjadi terhibur karenanya.
Selamat jalan Ibu, beristirahatlah dengan tenang dan terimakasih telah memberikan kenangan yang begitu indah pada kami semua. Doa kami sekeluarga akan senantiasa menyertai Ibunda tercinta.
Selamat jalan eyang, semoga engkau beristirahat dengan tenang di sisi Nya.
BalasHapustak mampu berkata-kata hanya airmata yg terus mengalir tiada henti..begitu banyak kenangan indah dan curahan cinta dan kasih sayang ibunda tercita yg belum mampu kami balas..belum cukup rasanya kami berbakti ..walo dengan berat hati n kesedihan kehilangan yg mendalam kami ikhlas melepas beliau keharibaanMu..
BalasHapus